
PEMILU 2024 DARI KACAMATA ANAK MUDA : ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN DEMOKRASI
Oleh: Izzati Alya Sutanto — Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta Pemilu merupakan puncak pesta demokrasi rakyat Indonesia. Pada 14 Februari 2024, bangsa ini kembali melaksanakan pemilu serentak untuk memilih presiden, wakil presiden, serta anggota legislatif. Pemilu kali ini bukan hanya menjadi ajang kontestasi politik, tetapi juga cermin sejauh mana demokrasi telah berakar dalam kehidupan masyarakat. Bagi generasi muda, Pemilu 2024 adalah momentum penting. Dengan jumlah pemilih muda yang dominan, arah demokrasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh pilihan mereka. Jakarta Selatan, sebagai salah satu wilayah dengan karakter urban dan tingkat mobilitas tinggi, mencerminkan dinamika tersebut secara jelas. Di daerah ini, partisipasi anak muda terasa kuat, namun juga masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu dikritisi. Dominasi Pemilih Muda dalam Pemilu 2024 Lebih dari separuh pemilih Indonesia pada Pemilu 2024 adalah anak muda. Di Jakarta Selatan, jumlahnya mencapai ratusan ribu suara yang berpotensi menentukan arah demokrasi bangsa. Pemilu 2024 menegaskan kenyataan bahwa generasi milenial dan Gen Z menjadi tulang punggung partisipasi politik. Di tingkat nasional, sekitar 33% pemilih berasal dari kelompok milenial, dan 23% berasal dari generasi Z. Fakta ini juga tercermin di Jakarta Selatan. Menurut data resmi KPU DKI Jakarta, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jakarta Selatan untuk Pemilu 2024 mencapai 1.748.961 pemilih. Dari total DPT Provinsi sebesar 8.214.007 pemilih, Jakarta Selatan menyumbang sekitar 21% dari seluruh pemilih di Ibu Kota. Sumber: KPU DKI Jakarta, Rekapitulasi DPT Pemilu 2024 (Data Jakarta Selatan). Dengan struktur demografis Jakarta Selatan yang didominasi pemuda seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda, dapat diperkirakan bahwa ratusan ribu suara di Jakarta Selatan berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Angka ini menegaskan bahwa suara anak muda di Jakarta Selatan tidak bisa dianggap sebelah mata kehadiran mereka di TPS memiliki potensi besar dalam menentukan peta demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tantangan Partisipasi Generasi Muda Meski jumlahnya besar, keterlibatan anak muda masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, mobilitas tinggi menjadi kendala utama. Banyak pelajar dan mahasiswa yang tinggal di rantau atau kos, sehingga alamat di KTP tidak sesuai dengan domisili tempat tinggalnya. Mekanisme pindah memilih melalui formulir A5 seharusnya menjadi solusi, namun tidak semua memahami prosedurnya. Banyak yang baru menyadari kebutuhan ini ketika waktu pengurusan hampir habis, sehingga kehilangan hak pilih. Kedua, skeptisisme terhadap politik masih cukup kuat. Tidak sedikit anak muda yang merasa politik hanya menjadi arena perebutan kekuasaan antar-elite, bukan ruang untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Akibatnya, meskipun mereka aktif berdiskusi di media sosial, kehadiran nyata di TPS belum tentu maksimal. Sikap kritis ini sebenarnya sehat, tetapi jika hanya berujung pada apatisme, maka kualitas demokrasi bisa melemah. Ketiga, akses informasi yang timpang. Meskipun media sosial dipenuhi konten politik, informasi teknis kepemiluan tidak selalu tersampaikan dengan baik. Jadwal pemutakhiran data pemilih, prosedur pindah memilih, hingga lokasi TPS seringkali kalah gaung dibanding narasi kampanye dan isu-isu viral. Akibatnya, sebagian anak muda masih kebingungan dalam hal-hal teknis sederhana. Belajar dari Jakarta Selatan Menjaga Hak Pilih Jakarta Selatan memiliki tantangan unik karena masyarakatnya heterogen dan mobilitas warganya sangat tinggi. Salah satu langkah yang patut diapresiasi adalah inisiatif #JakSelPeduliDataPemilih, yang mendorong warga untuk aktif memeriksa dan memperbarui data kepemilihan. Kualitas data pemilih menjadi fondasi utama demokrasi. Tanpa DPT yang akurat, partisipasi pemilih bisa terganggu. Banyak kasus terjadi di mana anak muda masih tercatat di daerah asalnya, padahal sudah lama berdomisili di Jakarta Selatan. Jika tidak segera diurus, mereka berpotensi tidak bisa menggunakan hak pilih. Upaya pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang dilakukan KPU harus didukung oleh sosialisasi kreatif agar lebih dekat dengan dunia anak muda. Misalnya, melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, komunitas kreatif, hingga pemanfaatan media sosial. Dengan begitu, pesan tentang pentingnya menjaga hak pilih dapat diterima lebih efektif oleh generasi muda yang sehari-harinya hidup di ruang digital. Demokrasi Bukan Sekadar Ritual Lima Tahunan Pengalaman Pemilu 2024 mengajarkan bahwa demokrasi tidak berhenti pada kotak suara atau hasil rekapitulasi. Demokrasi adalah bagaimana suara rakyat, termasuk suara anak muda, benar-benar didengar dan dihargai. Di Jakarta Selatan, pemilu juga menghadirkan wajah sosial yang unik. Banyak warga memaknai kehadiran di TPS sebagai momen silaturahmi, berkumpul bersama tetangga, bahkan berbincang tentang masa depan bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya sebatas proses elektoral, melainkan juga bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, tantangan tetap ada. Apatisme sebagian anak muda, kurangnya literasi politik, dan keterbatasan informasi teknis harus dijawab dengan inovasi. Tanpa perbaikan, pemilu berisiko terjebak menjadi rutinitas seremonial yang kehilangan makna substantif. Harapan untuk Demokrasi Indonesia Dari Pemilu 2024, ada tiga catatan penting. Pertama, partisipasi anak muda harus terus ditingkatkan, bukan hanya dengan mendorong mereka datang ke TPS, tetapi juga dengan melibatkan mereka dalam diskusi publik dan pengawasan demokrasi. Kedua, sosialisasi kepemiluan perlu lebih kreatif dan relevan dengan gaya hidup generasi muda, berbasis kolaborasi lintas sektor. Ketiga, kualitas data pemilih harus terus diperbaiki agar tidak ada warga, terutama pemilih pemula, yang kehilangan hak pilihnya. Generasi muda adalah penentu arah demokrasi. Dengan jumlah yang begitu besar, suara mereka bukan sekadar pelengkap, tetapi bisa menjadi penentu arah kebijakan bangsa. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan energi kritis anak muda tidak berhenti di media sosial, melainkan diwujudkan dalam partisipasi nyata di bilik suara. Pemilu 2024 menjadi cermin perjalanan demokrasi Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah, tetapi juga terbuka harapan besar. Jika generasi muda mampu memadukan semangat kritis dengan partisipasi aktif, maka demokrasi kita akan semakin matang. Pada akhirnya, pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, melainkan tentang memastikan suara rakyat, terutama suara anak muda, benar-benar berarti bagi masa depan bangsa. “Generasi muda bukan hanya penerus, tetapi juga pengarah. Satu suara anak muda di TPS adalah satu pijakan penting menuju masa depan demokrasi Indonesia.”