Opini

PEMILU 2024 DARI KACAMATA ANAK MUDA : ANTARA HARAPAN DAN TANTANGAN DEMOKRASI

Oleh: Izzati Alya Sutanto — Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Jakarta Pemilu merupakan puncak pesta demokrasi rakyat Indonesia. Pada 14 Februari 2024, bangsa ini kembali melaksanakan pemilu serentak untuk memilih presiden, wakil presiden, serta anggota legislatif. Pemilu kali ini bukan hanya menjadi ajang kontestasi politik, tetapi juga cermin sejauh mana demokrasi telah berakar dalam kehidupan masyarakat. Bagi generasi muda, Pemilu 2024 adalah momentum penting. Dengan jumlah pemilih muda yang dominan, arah demokrasi Indonesia sangat dipengaruhi oleh pilihan mereka. Jakarta Selatan, sebagai salah satu wilayah dengan karakter urban dan tingkat mobilitas tinggi, mencerminkan dinamika tersebut secara jelas. Di daerah ini, partisipasi anak muda terasa kuat, namun juga masih menghadapi berbagai tantangan yang perlu dikritisi. Dominasi Pemilih Muda dalam Pemilu 2024 Lebih dari separuh pemilih Indonesia pada Pemilu 2024 adalah anak muda. Di Jakarta Selatan, jumlahnya mencapai ratusan ribu suara yang berpotensi menentukan arah demokrasi bangsa. Pemilu 2024 menegaskan kenyataan bahwa generasi milenial dan Gen Z menjadi tulang punggung partisipasi politik. Di tingkat nasional, sekitar 33% pemilih berasal dari kelompok milenial, dan 23% berasal dari generasi Z. Fakta ini juga tercermin di Jakarta Selatan. Menurut data resmi KPU DKI Jakarta, jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jakarta Selatan untuk Pemilu 2024 mencapai 1.748.961 pemilih. Dari total DPT Provinsi sebesar 8.214.007 pemilih, Jakarta Selatan menyumbang sekitar 21% dari seluruh pemilih di Ibu Kota.                 Sumber: KPU DKI Jakarta, Rekapitulasi DPT Pemilu 2024 (Data Jakarta Selatan). Dengan struktur demografis Jakarta Selatan yang didominasi pemuda seperti pelajar, mahasiswa, dan pekerja muda, dapat diperkirakan bahwa ratusan ribu suara di Jakarta Selatan berasal dari generasi milenial dan Gen Z. Angka ini menegaskan bahwa suara anak muda di Jakarta Selatan tidak bisa dianggap sebelah mata kehadiran mereka di TPS memiliki potensi besar dalam menentukan peta demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tantangan Partisipasi Generasi Muda Meski jumlahnya besar, keterlibatan anak muda masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, mobilitas tinggi menjadi kendala utama. Banyak pelajar dan mahasiswa yang tinggal di rantau atau kos, sehingga alamat di KTP tidak sesuai dengan domisili tempat tinggalnya. Mekanisme pindah memilih melalui formulir A5 seharusnya menjadi solusi, namun tidak semua memahami prosedurnya. Banyak yang baru menyadari kebutuhan ini ketika waktu pengurusan hampir habis, sehingga kehilangan hak pilih. Kedua, skeptisisme terhadap politik masih cukup kuat. Tidak sedikit anak muda yang merasa politik hanya menjadi arena perebutan kekuasaan antar-elite, bukan ruang untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Akibatnya, meskipun mereka aktif berdiskusi di media sosial, kehadiran nyata di TPS belum tentu maksimal. Sikap kritis ini sebenarnya sehat, tetapi jika hanya berujung pada apatisme, maka kualitas demokrasi bisa melemah. Ketiga, akses informasi yang timpang. Meskipun media sosial dipenuhi konten politik, informasi teknis kepemiluan tidak selalu tersampaikan dengan baik. Jadwal pemutakhiran data pemilih, prosedur pindah memilih, hingga lokasi TPS seringkali kalah gaung dibanding narasi kampanye dan isu-isu viral. Akibatnya, sebagian anak muda masih kebingungan dalam hal-hal teknis sederhana. Belajar dari Jakarta Selatan Menjaga Hak Pilih Jakarta Selatan memiliki tantangan unik karena masyarakatnya heterogen dan mobilitas warganya sangat tinggi. Salah satu langkah yang patut diapresiasi adalah inisiatif #JakSelPeduliDataPemilih, yang mendorong warga untuk aktif memeriksa dan memperbarui data kepemilihan. Kualitas data pemilih menjadi fondasi utama demokrasi. Tanpa DPT yang akurat, partisipasi pemilih bisa terganggu. Banyak kasus terjadi di mana anak muda masih tercatat di daerah asalnya, padahal sudah lama berdomisili di Jakarta Selatan. Jika tidak segera diurus, mereka berpotensi tidak bisa menggunakan hak pilih. Upaya pemutakhiran data pemilih berkelanjutan yang dilakukan KPU harus didukung oleh sosialisasi kreatif agar lebih dekat dengan dunia anak muda. Misalnya, melalui kolaborasi dengan perguruan tinggi, komunitas kreatif, hingga pemanfaatan media sosial. Dengan begitu, pesan tentang pentingnya menjaga hak pilih dapat diterima lebih efektif oleh generasi muda yang sehari-harinya hidup di ruang digital. Demokrasi Bukan Sekadar Ritual Lima Tahunan Pengalaman Pemilu 2024 mengajarkan bahwa demokrasi tidak berhenti pada kotak suara atau hasil rekapitulasi. Demokrasi adalah bagaimana suara rakyat, termasuk suara anak muda, benar-benar didengar dan dihargai. Di Jakarta Selatan, pemilu juga menghadirkan wajah sosial yang unik. Banyak warga memaknai kehadiran di TPS sebagai momen silaturahmi, berkumpul bersama tetangga, bahkan berbincang tentang masa depan bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak hanya sebatas proses elektoral, melainkan juga bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Namun, tantangan tetap ada. Apatisme sebagian anak muda, kurangnya literasi politik, dan keterbatasan informasi teknis harus dijawab dengan inovasi. Tanpa perbaikan, pemilu berisiko terjebak menjadi rutinitas seremonial yang kehilangan makna substantif. Harapan untuk Demokrasi Indonesia Dari Pemilu 2024, ada tiga catatan penting. Pertama, partisipasi anak muda harus terus ditingkatkan, bukan hanya dengan mendorong mereka datang ke TPS, tetapi juga dengan melibatkan mereka dalam diskusi publik dan pengawasan demokrasi. Kedua, sosialisasi kepemiluan perlu lebih kreatif dan relevan dengan gaya hidup generasi muda, berbasis kolaborasi lintas sektor. Ketiga, kualitas data pemilih harus terus diperbaiki agar tidak ada warga, terutama pemilih pemula, yang kehilangan hak pilihnya. Generasi muda adalah penentu arah demokrasi. Dengan jumlah yang begitu besar, suara mereka bukan sekadar pelengkap, tetapi bisa menjadi penentu arah kebijakan bangsa. Tantangannya adalah bagaimana menjadikan energi kritis anak muda tidak berhenti di media sosial, melainkan diwujudkan dalam partisipasi nyata di bilik suara. Pemilu 2024 menjadi cermin perjalanan demokrasi Indonesia. Masih banyak pekerjaan rumah, tetapi juga terbuka harapan besar. Jika generasi muda mampu memadukan semangat kritis dengan partisipasi aktif, maka demokrasi kita akan semakin matang. Pada akhirnya, pemilu bukan hanya tentang memilih pemimpin, melainkan tentang memastikan suara rakyat, terutama suara anak muda, benar-benar berarti bagi masa depan bangsa. “Generasi muda bukan hanya penerus, tetapi juga pengarah. Satu suara anak muda di TPS adalah satu pijakan penting menuju masa depan demokrasi Indonesia.”

TINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMILU 2024 – PERSPEKTIF DATA PEMILIH

AHMAD BARIZI – Anggota KPU Kota Jakarta Selatan Penyelenggaraan pemilu 2019 berhasil meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat untuk memberikan hak pilihnya. Capaian 81% secara nasional melebihi target 77,5%, maupun 75% dalam pileg 2014, 70 % pilpres 2014, dan bahkan terhadap pilgub DKI 2017 dengan capaian 78 %. (sumber laman KPU) Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat, dan pengamat maupun peneliti kepemiluan menggaris bawahi pencapaian ini didorong adanya keserentakan pemilihan presiden & wakil presiden dengan pemilu legislatif, yang difasilitasi program kerja KPU sebagai penyelenggara dalam melakukan sosialisasi di semua tingkatan – nasional, provinsi, kabupaten & kota, kecamatan dan  kelurahan. Partai politik juga berperan penting dalam mendorong konstituennya untuk hadir ke TPS pada hari pemilihan. Keberhasilan ini menjadi standar baru dalam penyelenggaraan pemilu di masa mendatang, dan menjadi tantangan bagi penyelenggara untuk mencari tahu, siapa saja yang tidak hadir dalam menggunakan hak konstitusional dalam proses demokrasi.   Namun tidak bisa dipungkiri,  terdapat 19 % pemilih belum berpartisipasi dalam pemilu, dengan berbagai alasan. Dalam upaya mendorong peningkatan lebih lanjut tingkat partisipasi masyarakat, peran Data Pemilih Berkualitas sangatlah penting. Menurut ketentuan  UU Pemilu no. 7 2017 pasal 199; mengamanatkan bahwa untuk dapat menggunakan hak suaranya di TPS, Warga Negara Indonesia harus terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada 3 jenis daftar pemilih, yaitu Daftar Pemilih Tetap (DPT), Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) bagi yang melakukan yang pindah TPS dan Daftar Pemilih Khusus (DPK) bagi yang belum terdaftar dalam DPT. Pemetaan Tempat Pemungutan Suara menjadi salah satu faktor penting agar ada kemudahan dalam memberikan hak suaranya karena kesesuaian domisili (seuai KTP) dengan TPS, yang telah diatur dalam PKPU  tentang pemutakhiran data pemilih yang mengamanatkan lokasi TPS mempunyai kedekatan geografis domisili pemilih. Tempat domisili pemilih berkorelasi langsung potensi kehadiran di TPS, ditambah dengan dorongan individu untuk menyalurkan aspirasi melalui proses pemilu meskipun tempat domisili kesehariannya tidak dalam satu wilayah dengan lokasi TPS. Fakta menunjukkan bahwa banyak masyarakat tidak berdomisili sesuai dengan alamat dalam KTP-el. Kehadiran mereka dipengaruhi oleh adanya hubungan emosional dengan warga di lingkungan tersebut (reuni kecil), misal tinggal di lingkungan tersebut dalam waktu yang lama dan masih ada kontak warga tersebut, adanya sanak keluarga yang berdomisili di tempat tersebut, atau jarak dari tempat domisili yang relatif dekat. Siapa saja yang belum hadir dalam pemilu?. Setidaknya, ada 3 kelompok, yaitu – kesatu - masyarakat yang dengan sengaja tidak menggunakan haknya, kedua - masyarakat yang berkeinginan menggunakan hak pilihnya, namun tidak sedang di tempat domisilinya & terlambat mengurus dokumen pindah memilih dan ketiga - masyarakat berkeinginan menggunakan hak pilihnya, berdomisili yang tidak sama dengan alamat KTPnya, namun tidak bisa mendapatkan dokumen pindah memilih karena ybs tidak terdata dalam Daftar Pemilih Tetap di kota/kabupaten asalnya. Hasil Sensus Penduduk 2020 mengkonfirmasikan bahwa Hasil Sensus Penduduk 2020, pada tingkat nasional, sebanyak 23,47 juta atau 8,68 persen penduduk berdomisili tidak sesuai dengan alamat KK/KTP-nya (sumber : Kumparan, 11 Februari 2021). Tidak terdaftarnya yang bersangkutan dalam DPT bisa dikarenakan saat coklit diidentifikasi sebagai pemilih tidak dikenal atau ada kesalahan input data sehingga NIK yang bersangkutan tidak dikenal dan karenanya tidak bisa mengurus A5 di kota tujauan. Dalam perspektif data pemilih maka dapat dipetakan adanya permasalahan sebagai berikut: Warga yang berhak memilih, tidak terdaftar dalam DPT dan tidak berdomisili sesuai KTP-el, sehingga ybs kesulitan untuk mendapatkan dokumen A5. Kecenderungan pemilih mengurus A5 di saat waktu menjelang penutupan pelayanan (injuri time) dan bahkan mengurus ketika jadwal pelayanan sudah tutup Ada data pemilih (hasil sinkronisasi) masuk kategori tidak dikenal, maka pemilih tsb terhapus dari daftar pemilh. Bila bermaksud pindah memilih – yang bersangkutan tidak bisa dilayani A5nya - karena ter-TMS saat coklit. Penyelenggara Pemilu dan stakeholder mendapat tantangan untuk dapat menjawab permasalahan diatas, agar mereka dapat memberikan haknya dalam pemilu mendatang, sehingga tingkat partisipasi diharapkan bisa meningkat. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan merupakan kegiatan yang bisa dioptimalkan agar kualitas data pemilih menjadi semakin baik. Pendekatan Administrasi Kependudukan. Sesuai UU No. 24 Tahun 2013 (perubahan UU no. 23 2006) Tentang  Administrasi Kependudukan Pasal 3 bahwa Setiap Penduduk wajib melaporkan Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialaminya kepada Instansi Pelaksana dengan memenuhi persyaratan yang diperlukan dalam Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.   Peristiwa Kependudukan didefiniskan sebagai kejadian yang dialami Penduduk yang harus dilaporkan karena membawa akibat terhadap penerbitan atau perubahan Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dan/atau surat keterangan kependudukan lainnya meliputi pindah datang, perubahan alamat, serta status tinggal terbatas menjadi tinggal tetap, sedangkan Peristiwa Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status kewarganegaraan. Dinas Dukcapil sebagai instansi pelaksana perlu melakukan inisiatif dalam proses komunikasi publik sehubungan dengan kewajiban penduduk untuk melaporkan peristiwa kependudukan maupun peristiwa penting, agar data yang terdokumentasikan dalam database administrasi kependudukan mengambarkan data terkini sehingga pengguna data mendapatkan data yang lebih akurat. Dinas Dukcapil Provinsi DKI Jakarta telah meluncurkan aplikasi ALPUKAT BETAWI (tersedia dalam play store) untuk memberikan kemudahan pelayanan administrasi kependudukan. Dirjen DUKCAPIL di tahun 2020 telah meluncukan program GISA – Gerakan Indonesia Sadar Administrasi Kependudukan. Data kependudukan yang mutakhir akan memberikan kontribusi poisitif terhadap kualitas Data Pemilih, melalui Ditjen Dukcapil yang memberikan data kependudukan dalam bentuk Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang selanjutnya dilakukan sinkronisasi dengan Daftar Pemilih Berkelanjutan. Pendekatan Tata Kelola Pemilu Tahapan Pemutakhiran data pemilih memiliki aktifitas pencocokan dan penelitian (coklit), berupa kegiatan verifikasi data di lapangan dengan sistem kunjungan dari pintu ke pintu. Salah satu temuan adalah pemilih yang tidak kenal oleh masyarakat, termasuk oleh pengurus RT setempat, dikelompokkan dalam kode 5 (tidak dikenal), dan karenanya data pemilih tersebut akan terhapus dari daftar pemilih aktif. Perbaikan tata kelola perlu dilakukan dengan melakukan konfirmasi status data pemilih tersebut dalam data kependudukan. Bilamana data tersebut dinyatakan sebagai KTP-el aktif, maka data pemilih ini harus dipertahankan sebagai data pemilih aktif, sehingga yang bersangkutan berkesempatan mengajukan pelayanan pindah memilih sehingga potensi partisipasi ybs dalam pemilu menjadi lebih besar. Adanya potensi kesalahan input data elemen data kunci (antara lain NIK) perlu diperkecil. Tata kelola perlu memasukkan aktitfitas pemadanan daftar pemilih dengan database kependudukan ketika memasuki fase pengesahan Daftar Pemilih Sementara Hasil Perbaikan. Hasil pemadanan ini adalah semua data pemilih terbaca secara utuh (berbasis NIK) dalam dataabase kependudukan. Pendekatan Inovasi Pelayanan dan Sosialisasi dalam Tahapan Pemilu KPU bertugas memfasilitasi masyarakat pemilih untuk terdaftar sebagai pemilih dan dapat memberikan haknya pada saat pemilihan dengan sejumlah alasan yang menyebabkan pemilih tidak bisa hadir di TPS yang ditentukan dalam Daftar Pemilih Tetap. Sangatlah penting untuk mendesain program sosialisasi yang inovatif, menarik perhatian masyarakat dan sesuai dengan profil pemilih yang bervariasi, pemanfaatn media sosial, dengan berkolaborasi dengan semua pihak yang mampu menjembatani proses komunikasi kepada masyarakat. Pelayanan pindah memilih telah menjadi bagian tahapan kegiatan dan perbaikan proses perlu dikembangkan agar menjadi lebih efektif dan efisien. Ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengelolaan pindah memilih: a. sosialisasi ke publik tentang jadwal, sasaran kegiatan, media yang digunakan; b. kesadaran pemilih untuk mengurus A5 sedari awal dengan menghindari pengurusan di ujung jadwal; c. inovasi penyelenggara dalam membuat satuan tugas pelayanan, termasuk pemanfaatan teknologi informasi untuk mengurangi proses manual yang memerlukan waktu yang cukup lama. Tanda tangan berbasis barcode perlu menjadi terobosan sehingga pengesahan dokumen tidak memerlukan kehadiran Ketua KPU, karena sudah didelegasikan secara sistematis. Dengan ketiga pendekatan diatas, hak konstitusional untuk dapat memilih lebih terjamin sehingga memberikan kontibusi meningkatnya tingkat partisipasi masyarakt untuk memberikan suara pada saat hari pemilihan di TPS yang sesuai.   Optimalkan Program Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Sesuai amanat UU no. 7 tahun 2017, KPU mendapatkan tugas non tahapan berupa kegiatan Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan. Pasca tahapan pemilu 2019, Budaya pemutakhiran data pemilih telah dikembangkan oleh KPU dalam tahun 2020 untuk satuan kerja yang tidak melaksanakan Pilkada 2020.     Memasuki tahun 2021, KPU RI mendesain kegiatan ini melalui Surat Edaran KPU RI no 132 tertanggal 4 Februari 2021 dan di perbaikin dengan SE no 366 tertanggal 21 April 2021,  KPU Kota / Kabupaten didorong untuk berinteraksi dengan semua pemangku kepentingan (meliputi Parpol, Pemerintah Kota/Kabuptaen melalui SKPD terkait yang mengelola data warag, kelompok masyarakat),  di wilayah satuan kerja masing-masing untuk mendapatkan data pemilih baru (pemilih baru memasuki usia 17 tahun atau sudah purnabakti sebagai TNI & POLRI maupun  pindah masuk), data tidak memenuhi syarat (meliputi meninggal dunia, pindah domisili, data ganda, bukan penduduk setempat, menjadi anggota TNI & POLRI), maupun perbaikan elemen data (perubahan NKK,  alamat maupun lainnya). Kolaborasi dan Sinergi dengan stakeholdermenjadi kunci sukses dalam kegiatan ini, meliputi berbagai kegiatan sosialisasi dalam upaya mendorong partisipasi aktif masyarakat.  KPU Kota / Kabupaten juga didoronh melakukan proses pelayanan secara daring maupun luring untuk memberi kesempatan warga pemilih untuk melakukan konfirmasi data terakhir dan melaporkan bila ada perubahan. Di Jakarta Selatan diluncurkan tagline #JakSelPeduliDataPemilih, dan semua stakeholder bersepakat memberikan komitmen untuk mendukung program ini dalam bentuk “Deklarasi Forum Koordinasi Stakeholder”. Setiap bulan KPU Kota/Kabupaten melakukan rekapitulasi setiap perubahan data pemilih yang dibagikan kepada stakeholder dan mengumumkannya kepada masyarakat. Triwulanan, dilaksanakan rapat koordinasi dengan stakeholder untuk mendapatkan masukan dan sekaligus melakukan evaluasi kegiatan. #JakselPeduliDataPemilih #JS-PemutakhiranDataPemilihBerkelanjutan                                           

EVALUASI FASILITASI KAMPANYE PEMILU 2019

Oleh: Fahmi Zikrillah (Anggota KPU Jakarta Selatan)  PENDAHULUAN Kampanye merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dalam Pemilihan Umum. Kegiatan kampanye pada dasarnya adalah sarana pendidikan politik yang dilakukan oleh peserta pemilu baik itu pasangan capres-cawapres, partai-partai politik ataupun calon perseorangan anggota DPD RI untuk memperkenalkan citra diri, visi misi dan programnya kepada masyarakat agar mereka mau tergerak dan tertarik untuk ikut berpartisipasi dalam pemilihan umum. Kampanye biasanya dilakukan dengan berbagai cara untuk menarik perhatian masyarakat, mulai dari kampanye pertemuan tatap muka (berkunjung ke pasar, atau kunjungan door to door ke rumah warga atau pertemuan dengan komunitas), ada juga metode pertemuan terbatas, rapat umum, penyebaran bahan kampanye, hingga pemasangan alat peraga kampanye (spanduk, baliho, billboard) dan sebagainya. Semua dilakukan dalam rangka memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, memperkenalkan citra diri dan program yang akan dilakukan, untuk meyakinkan masyarakat agar memilih calon pemimpin yang pantas dan memiliki kapasitas serta mampu menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sehingga pada akhirnya adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Kegiatan kampanye, diharapkan masyarakat dapat berkenalan dan mengetahui siapa calon pemimpin yang layak dipilih untuk mewakili aspirasi dan memperjuangkan apa yang menjadi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, kegiatan kampanye merupakan suatu proses seleksi yang bisa dilakukan masyarakat terhadap orang-orang yang akan dipilih, baik sebagai presiden, DPR, DPD maupun DPRD. Jangan sampai ada istilah membeli kucing dalam karung, masyarakat memilih orang yang keliru sehingga pada saat menjabat mereka bukan mewakili rakyat tapi malah justru menindas rakyat dengan regulasi dan kebijakan yang dibuat. Rakyat memiliki kedaulatan penuh untuk menentukan siapa yang akan memimpin untuk 5 tahun ke depan. Tentu, dalam kegiatan kampanye perlu ada kepastian hukum, baik itu Undang-Undang maupun Peraturan KPU. Sehingga para peserta pemilu maupun masyarakat pada umumnya dapat memahami apa yang boleh dan apa yang dilarang dalam pelaksanaan kampanye. Kita juga mafhum bahwa bernegara adalah berkonstitusi. Selalu ada dasar hukum yang mengatur segala aktifitas kita bernegara. Salah satunya adalah dalam hal pemilihan umum 2019. Pemilu 2019 diatur di dalam undang-undang no 7 tahun 2017. Semua hal yang berkaitan tentang pemilihan umum 2019 diatur dalam UU tersebut, mulai dari siapa itu peserta pemilu, siapa yang berhak memilih dalam pemilu, siapa yang melaksanakan pemilu, hingga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pemilu, semuanya lengkap di atur dalam UU No 7 tahun 2017 dan dijabarkan lebih komprehensif dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Namun sayangnya, seringkali UU no 7 tahun 2017 tentang pemilu maupun peraturan KPU (PKPU) no 23 tahun 2018 yang diubah menjadi PKPU no 28 tahun 2018  tentang kampanye pemilu kurang difahami oleh para peserta pemilu, sehingga banyak peraturan yang justru tidak dilaksanakan. Meskipun KPU sebagai salah satu penyelenggara beberapa kali sudah melakukan sosialisasi terkait PKPU mengenai kampanye kepada peserta pemilu, namun dalam praktiknya masih banyak peserta pemilu yang tidak melaksanakan dan bahkan melanggar aturan yang ada. 1. Peran KPU dalam Fasilitasi Kampanye Pemilu 2019 Sebagai lembaga yang diamanahkan dalam Undang-undang untuk melaksanakan pemilu, KPU berkewajiban memberikan sosialisasi terhadap segala tahapan pemilu, tak terkecuali soal kampanye. Aturan yang terkait soal kampanye harus disosialisasikan oleh KPU kepada para peserta pemilu. KPU beberapa kali melakukan sosialisasi terkait aturan hukum tentang kampanye (PKPU 23 junto PKPU 28 tahun 2018) dengan mengundang peserta pemilu. Dalam sosialisasi tersebut KPU menyampaikan kepada peserta pemilu mengenai peraturan yang memuat apa saja yang menjadi hak dan kewajiban peserta pemilu, hingga hal-hal yang boleh dilakukan dan dilarang dalam kampanye. Namun sayangnya, dalam kegiatan sosialisasi terkait PKPU biasanya karena keterbatasan anggaran KPU hanya mengundang peserta terbatas, yang dihadiri oleh 2 orang yang mewakili peserta pemilu (tim paslon capres-cawapres, tim calon anggota DPD RI dan perwakilan dari partai politik). Dalam kegiatan sosialisasi PKPU tentang kampanye pemilu yang sudah dilaksanakan oleh KPU kepada peserta pemilu, yang menjadi catatan adalah apakah peserta yang hadir mewakili peserta pemilu pada sosialisasi PKPU kampanye tersebut memahami materi sosialisasi terkait aturan kampanye untuk kemudian meneruskan informasi tersebut kepada seluruh caleg dari masing-masing parpol atau tidak? Atau justru hanya dikonsumsi oleh segelintir orang saja dalam partai politik. Sehingga para pengurus ataupun caleg di masing-masing parpol menjadi rabun aturan kampanye. Walaupun sebetulnya informasi tentang aturan terkait kampanye pemilu juga bisa diunduh dalam laman website KPU, sehingga dapat dipelajari dan dipahami oleh seluruh peserta pemilu. KPU juga secara terbuka siap memberikan penjelasan jika ada hal-hal yang kurang difahami oleh peserta pemilu. 2. Catatan Evaluasi Fasilitasi Kegiatan Kampanye Pemilu 2019 Pada dasarnya, aturan dibuat untuk mewujudkan harmonisasi keteraturan dan ketertiban serta melindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan sehingga dapat tercipta keadilan bagi semua masyarakat. Sudah barang tentu setiap aturan yang dibuat mengandung konsekuensi hukum berupa sanksi bagi yang melanggar. Disinilah pentingnya kepastian hukum dalam segala hal. Namun dalam PKPU no 23 junto 28 tahun 2018 tentang kampanye, banyak hal yang tidak mengatur soal sanksi tegas apabila aturan tersebut dilanggar. Seperti misalnya pelaporan atas pembentukan tim kampanye oleh peserta pemilu kepada KPU. Mengenai aturan yang membatasi jumlah peserta dalam pertemuan terbatas juga tidak ada konsekuensi hukumunya. Di dalam PKPU diatur bahwa untuk pertemuan terbatas yang skala nasional dibatasi 3000 orang, tingkat provinsi dibatasi 2000 orang dan tingkat kabupaten/kota dibatasi 1000 orang. Namun dalam praktiknya hal tersebut seringkali tidak diindahkan, sebab siapa yang dapat mengontrol dan menghitung secara rinci jumlah peserta yang hadir? Terlebih tidak adanya sanksi tegas jika hal tersebut dilanggar. Contoh lain yang sering dilanggar oleh peserta pemilu adalah tentang kewajiban menyampaikan pemberitahuan tentang kegiatan kampanye dalam bentuk pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka kepada pihak kepolisian yang ditembuskan kepada KPU maupun Bawaslu. Banyak dari peserta pemilu yang tidak melaporkan ataupun memberitahukan kegiatan kampanye, baik kepada polisi ataupun tembusan kepada KPU. Lain daripada itu, terkait aturan yang mengatur soal ukuran alat bahan kampanye (ABK) dan alat peraga kampanye (APK), baik itu poster, stiker, selebaran, brosur, pamflet, spanduk, baliho, maupun billboard dan umbul-umbul. Dalam PKPU diatur ukuran yang boleh dicetak dalam membuat dan menyebarkan bahan kampanye dan alat peraga kampanye. Belum lagi nilai untuk alat bahan kampanye jika konversi dalam bentuk uang paling tingga Rp 60.000,- untuk semua bahan kampanye. Namun dalam prakteknya, ukuran tersebut justru seolah tidak diindahkan oleh peserta pemilu. Siapa yang bisa mengawasi sampai se detail itu? Meskipun dalam PKPU jelas dilarang mencetak dan menyebarkan bahan kampanye selain dalam bentuk dan ukuran yang sudah ditentukan. Maka menjadi pertanyaaan mengenai efektifitas aturan tersebut? Lokasi pemasangan alat peraga kampanye (APK) juga menjadi perhatian khusus, karena masih banyak peserta pemilu yang memasang APK diluar dari keputusan KPU Provinsi/ Kota yang sudah menentukan lokasi-lokasi terlarang untuk memasang APK. Dalam hal ini, KPU mengapresiasi kinerja bawaslu yang secara aktif mengawasi pemasangan APK di berbagai lokasi. Selain itu, perlu ada penyederhanaan terkait dengan tim kampanye, pelaksana kampanye, dan petugas kampanye, sehingga tidak terlalu rumit dalam pengistilahan. Karena tugas antara tim kampanye, pelaksana maupun petugas kampanye, bisa dikerjakan sekaligus guna mendorong prinsip efektif dan efesien. Hal itu semua boleh jadi karena tidak adanya konsekuensi hukum yang jelas jika aturan tersebut tidak dilaksanakan ataupun dilanggar. Dalam Pemilu 2019, KPU juga memfasilitasi kegiatan kampanye bagi peserta pemilu. Bentuk fasilitasi kampanye pada pemilu 2019 adalah sebagai berikut: Baliho Spanduk KPU Provinsi memfasilitasi kampanye dalam bentuk mencetak alat peraga kampanye berupa baliho bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden masing-masing sebanyak 16 buah.  Sementara untuk partai politik, KPU mencetak baliho masing-masing 11 buah dan 5 buah untuk setiap calon anggota DPD RI. Adapun KPU Kabupaten/Kota memfasilitasi pencetakan baliho dan spanduk. Untuk baliho KPU mencetak 10 buah pasangan capres-cawapres. Sama hal dengan partai politik KPU Kab/Kota mencetak baliho masing-masing paling banyak 10 buah. Sementara untuk spanduk KPU Kab/Kota memfasilitasi masing-masing pasangan capres dan cawapres sebanyak 16 buah, begitu pun juga dengan parpol mendapatkan 16 buah spanduk., Adapun untuk calon anggota DPD RI menerima paling banyak 10 buah. Pertanyaan mendasar adalah kenapa KPU memberikan fasilitas kepada peserta pemilu berupa baliho dan spanduk? Spiritnya adalah bahwa agar terjadi kesetaraan antar peserta pemilu. Meskipun misalkan ada peserta pemilu yang punya modal lebih besar, tetapi KPU membatasi jumlah dan ukuran yang boleh dicetak agar tercipta kesetaraan di antara peserta pemilu. Namun lagi-lagi, tujuan yang baik tidak cukup tanpa diimbangi dengan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Meskipun sudah dibatasi jumlah dan ukuran yang boleh dicetak dan dipasang, namun di lapangan sulit bagi KPU dan Bawaslu untuk mengontrol sudah berapa banyak tambahan spanduk yang sudah dipasang oleh partai A misalnya. Terlebih dalam Undang-Undang didefinisikan bahwa yang termasuk peserta pemilu adalah: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Partai Politik Calon Perseorangan Anggota DPD RI. Hampir semua caleg baik DPR maupun DPRD mencetak spanduk dan baliho, dan sulit juga untuk mengawasi berapa banyak spanduk dan baliho yang sudah dipasang oleh setiap caleg dari masing-masing partai politik. Sementara yang dicetak oleh KPU adalah spanduk dan baliho untuk partai politik, bukan untuk calon anggota legislatif. Spanduk dan baliho yang dicetak oleh KPU biasanya hanya diisi  oleh ketua partai atau pengurus partai, artinya tidak semua caleg terfasilitasi dalam spanduk dan baliho tersebut. Disinilah kerancuan itu muncul. Di satu sisi KPU memfasilitasi dengan mencetak spanduk dan bahilo bagi peserta pemilu dengan tujuan terjadi kesetaraan, di sisi lain para caleg yang memiliki modal yang banyak juga melakukan hal yang sama, mencetak dan memasang spanduk sebanyak-banyaknya agar dikenal oleh masyarakat. Namun yang menjadi catatan juga adalah apakah spanduk dan baliho yang sudah difasilitasi oleh KPU tersebut dipasang semua oleh peserta pemilu atau tidak? Sebab yang terlihat di lapangan yang terpasang justru lebih banyak spanduk dan baliho yang dicetak sendiri oleh peserta pemilu. Mestinya ada lapporan dari partai politik apakah spanduk dan baliho yang difasilitasi KPU sudah terpasang atau belum. Saran kami, baiknya jika fasilitasi kampanye dalam bentuk pencetakan spanduk dan baliho ini mau dipertahankan, maka perlu diperjelas apakah caleg juga diperbolehkan memasang spanduk atau tidak. Atau untuk efesiensi anggaran, baiknya KPU tidak lagi memfasilitasi mencetak alat peraga kampanye, serahkan saja kepada masing-masing peserta pemilu. Adapun yang perlu dipertegas adalah mengenai batasan berapa jumlah yang boleh dicetak dan dipasang oleh masing-masing peserta pemilu, sehingga terjadi penghematan anggaran. PENUTUP Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, tentu kita ingin sistem demokrasi yang sudah kita sepakati bersama menjadi lebih berkualitas dari tahun ke tahun. Pemilu adalah salah satu aktifitas demokrasi yang melahirkan para pemimpin dan wakil rakyat. Dan salah satu tahapan yang penting dalam pemilu adalah Kampanye.n Kampanye dapat menjadi salah satu pintu menuju gerbang demokrasi subtansial, tentu dengan menghadirkan kampanye yang berkualitas, bukan sekedar seremonial apalagi prosedural. Kita ingin bahwa kampanye menjadi wadah bagi peserta pemilu untuk adu ide dan gagasan tentang bagaimana masa depan bangsa ini, tentang program apa yang akan dilaksanakan, serta apa yang akan diperjuangkan selama menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Kita mau mereka yang berkontestasi dalam pemilu bicara soal bagaimana mengatasi pengangguran, mengurangi kemiskinan, mewujudkan keadilan, serta bagaimana agar Indonesia mampu bersaing dan menjadi negara yang besar. Yang kesemuanya ini sebetulnya adalah bagian dari mewujudkan amanah dari pembukaan Undang-Undang Dasar kita. Sehingga dengan demikian rakyat semakin cerdas dan tercerahkan yang pada akhirnya dengan sukarela mendukung dan membela ide dan gagasannya, dan bukan sekedar personalnya. Kita tentu tidak ingin mereka yang terpilih adalah orang-orang yang hanya bermodalkan finansial, tanpa diiringi oleh modal intelektual dan modal sosial. Sebab jika yang menang adalah mereka yang banyak mengeluarkan uang, maka selanjutnya mereka akan berpikir bagaimana bisa mengembalikan modal. Tahapan kampanye merupakan proses seleksi alam apakah seseorang calon layak diberikan amanah atau tidak. Masyarakat dapat melihat dan mendengarkan langsung apa yang menjadi ide dan gagasannya, apa rencana aksinya, dan bagaimana dia mampu mewujudkan ide dan gagasannya tersebut. Rakyat tidak boleh lagi mau “dibeli” dengan uang ataupun sembako. Diantara banyak cara dalam melakukan kampanye, memanfaatkan perkembangan teknologi dapat digunakan oleh para peserta pemilu untuk melakukan sosialisasi dan kampanye. Melalui media sosial seperti facebook, twitter dan Instagram, para peserta pemilu bisa menyebarkan ide dan gagasannya kepada masyarakat dan dapat menyapa konstituennya. Tentu dengan mengedepankan data dan fakta, bukan justru menyebarkan fitnah dan berita bohong (hoax). Kita perlu regulasi yang jelas dan tegas agar kampanye yang dilaksanakan dapat berjalan dengan baik dan berkeadilan. Regulasi yang sudah dibuat peru disosialisasikan bukan saja kepada peserta pemilu tapi juga kepada masyarakat. Agar semua pihak dapat memahami aturan main apa yang boleh dan apa yang dilarang dalam kegiatan kampanye. Pada akhirnya, semoga demokratisasi kita semakin matang dan berkualitas. Pemilu yang menjadi sarana kedaulatan rakyat, bisa melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang terus memperjuangkan aspirasi masyarakat.

REFLEKSI 1 TAHUN PEMILU 2019: HARUSKAH PEMILU SERENTAK DILANJUTKAN?

Hari ini, 1 tahun yang lalu untuk pertama kalinya dalam sejarah Pemilu Serentak dilaksanakan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri bahwa praktek demokrasi kita dari tahun ke tahun masih trial and error mencari pola terbaik. Berbeda dengan pemilu sebelumnya yang memisahkan pemilu anggota legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres), namun pada pemilu 2019 masyarakat Indonesia memilih lima (5) surat suara sekaligus untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota diselenggarakan serentak di hari yang sama, 17 April 2019. Pemilu 2019 lalu oleh dunia internasional dianggap sebagai pemilu terbesar dan rumit di dunia (the biggest and most complicated elections in the world). Betapa tidak, Pemilu 2019 diselenggarakan di 813.336 tempat pemungutan suara (TPS), tersebar di 34 Provinsi, 514 Kabupaten/Kota, 7.201 kecamatan, dengan jumlah pemilih lebih dari 192 juta jiwa. Meski berlangsung damai, pemilu 2019 menyisakan banyak catatan. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi, seolah berubah menjadi bencana demokrasi. Tak ada yang menyangka, bahwa keserentakan pemilu 2019 tersebut akan membawa banyak korban jiwa, baik yang meninggal maupun sakit. Data kementerian kesehatan mencatatat ada 527 orang meninggal dunia, baik dari unsur KPU, Bawaslu, maupun pihak keamanan (kepolisian), serta 11.239 orang lainnya menderita sakit. Sungguh jumlah yang tidak sedikit, melebihi jumlah korban virus korona (setidaknya sampai hari ini, 17 April 2020). Bukan tanpa sebab, beban kerja yang sangat berat harus dipikul oleh penyelenggara pemilu, khususnya di tingkat KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara), PPS, dan PPK.  Faktor kelelahan dianggap menjadi pemicu jatuhnya banyak korban dalam melaksanakan pemilu 2019. Bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga lelah secara psikis karena berkejaran dengan waktu (deadline), khawatir kerja mereka tidak tuntas dan ketakutan ketika terjadi kesalahan dalam proses penghitungan. Beban kerja yang sedemikian besar dan resiko yang tidak ringan, tidak diimbangi dengan honor yang didapat oleh para petugas KPPS. Belum lagi tahapan pemilu yang padat dan berhimpitan, mulai dari pemutakhiran data pemilih yang tak kunjung usai, sosialisasi informasi kepemiluan kepada masyarakat, pembekalan bimbingan teknis (bimtek) bagi PPK, PPS, dan KPPS, persiapan logistik pemilu, pengisian dan distribusi C6 (surat pemberitahuan) kepada pemilih, sortir surat suara per TPS, distribusi logistik ke tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS), menyiapkan perlengkapan TPS (tenda, meja, bangku, dan alat kelengkapan TPS lainnya), membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Ditambah pada hari H pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara, banyak KPPS yang baru menyelesaikan penghitungan suara hingga subuh bahkan sore harinya dihari berikutnya. Lebih dari 24 jam, para KPPS dan penyelenggara pemilu lainnya “dipaksa” harus menyelesaikan event 5 tahun-an tersebut. Perlu ketelitian, kecermatan, dan kehati-hatian dalam mengisi berbagai macam formulir yang ada. Dan kesemuanya itu, sangat melelahkan. Kalau bukan karena pengabdian para KPPS, sulit rasanya pemilu 2019 bisa berjalan dengan baik dan lancar. Mereka layak disebut sebagai pahlawan demokrasi. Bukan hanya dari segi penyelenggara saja yang dibuat kerepotan, tapi juga masyarakat sebagai pemilih. Memilih lima (5) surat suara sekaligus, membuat banyak masyarakat kebingungan. Bingung harus memilih siapa atau partai apa, dan bagaimana cara mencoblos yang benar. Betul bahwa tingkat partisipasi masyarakat pada pemilu 2019 meningkat mencapai lebih dari delapan puluh satu persen (81%), namun yang menjadi catatan adalah banyak surat suara yang tidak sah, akibat dari kebingungan tersebut. Entah salah coblos atau surat suara yang tidak tercoblos. Misalnya pada pemilihan anggota DPR RI angka suara tidak sah mencapai 11,12% atau 17.503.953 suara. Belum lagi pada pemilihan anggota DPD RI, angka suara tidak sah jauh lebih tinggi yaitu sebesar sembilan belas persen (19%) atau 29.777.821 suara. Sementara suara tidak sah untuk pemilihan presiden sebesar 2,38% atau 3.754.905 suara. Data tersebut menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang tidak mengerti, karena ada banyak surat suara yang harus dicoblos, ditambah lagi desain surat suara yang terlalu besar.  Bukankah pelaksanaan pemilu itu harus mempertimbangkan faktor teknis yang memberikan kemudahan bagi pemilih untuk memilih? Bukan justru menyulitkan dan membuat bingung masyarakat. Keserentakan pemilu 2019 juga dianggap membuat masyarakat hanya berfokus pada pemilihan presiden/wakil presiden saja, dan cenderung tidak terlalu peduli dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Semangat awal dari pelaksanaan pemilu serentak, salah satunya adalah efektifitas dan efisiensi anggaran pemilu. Dengan keserentakan pemilu diharapkan negara bisa mennghemat anggaran. Namun pada kenyataannya, yang terjadi justru sebaliknya. Anggaran pemilu serentak 2019 membengkak menjadi 24 triliun atau naik 61% dibanding anggaran Pemilu 2014 sebesar 15,62 triliun. Selain itu, pemilu serentak juga diharapkan memperkuat sistem presidensial dan dapat menghindari terjadinya tawar-menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Namun sayangnya, lagi-lagi realitas menunjukkan fakta yang berbeda. Partai-partai Politik tetap harus berkoalisi untuk mencalonkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena adanya Presidential Treshold atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik untuk mengajukan calon presiden sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi di DPR atau dua puluh lima persen (25%) dari suara sah secara nasional sebagaimana diatur dalam pasal 222 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Tentu saja aturan tersebut membuat tawar menawar politik tak dapat dihindari yang pada akhirnya membuat spirit awal keserentakan pemilu tidak relevan dengan realitas yang ada. Perlu ada evaluasi secara serius dan komprehensif terhadap pelaksanaan pemilu 2019, agar tidak terjadi kesalahan dan kekurangan yang sama pada pemilu berikutnya. Bukankah hanya keledai yang jatuh pada lubang yang sama? Haruskah keserentakan pemilu 2019, dengan berbagai macam konsekuensi yang sudah disebutkan di ataas tetap dilanjutkan? Putusan MK dan Keserentakan Pemilu Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 atas uji materi yang dimohonkan oleh Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) tentang keserentakan pemilu yang diatur dalam Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 201 ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, setidaknya memberikan 6 pilihan model keserentakan pemilu. Pertama, Pemilihan Umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Kedua, Pemilihan Umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Ketiga, Pemilu serentak untuk memiih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota. Keempat, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Walikota. Kelima, Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih Gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Keenam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden. Sejumlah pihak mengapresiasi tafsir MK tersebut karena dianggap relevan dengan kajian peneliti maupun kelompok masyarakat sipil. Putusan tersebut bisa menjadi dasar dan momentum untuk perbaikan pemilu serentak. Dari enam piihan model pemilu di atas, dapat disimpulkan bahwa pemilu yang konstitusional di Indonesia adalah tidak lagi dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Konsepsi keserentakan yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk adalah pemiihan Presiden, DPR dan DPD mesti dilaksanakan bersamaan dan tidak bisa dipisahkan. Lalu desain mana yang akan digunakan pada pemilu berikutnya? Mahkamah Konstitusi menyerahkan kepada pembuat undang-undang. Pembuat undang-undang dalam hal ini DPR dan Pemerintah harus mempertimbangkan aspek teknis penyelenggaraan. Oleh karenanya, dalam proses perubahan Undang-Undang Pemilu, DPR perlu melibatkan dan mendengarkan pandangan banyak pihak, baik dari penyelenggara pemilu, peneliti dan akademisi, dan masyarakat sipil lainnya, agar pemilu ke depan bisa lebih baik. Simulasi yang detail dan komprehensif dari berbagai macam model juga perlu dilaksanakan. Jangan sampai masyarakat menjadi trauma atas pelaksanaan pemilu serentak, karena beban kerja yang berat. Banyaknya korban jiwa pada pelaksanaan pemilu 2019 kemarin, beserta kerumitan-kerumitan lainnya harus menjadi pelajaran yang berharga. Bahwa sejatinya pemilu adalah sebuah pesta demokrasi yang penuh suka cita, bukan justru malah menghadirkan luka dan duka. Untuk itu, harus ada sinkronisasi antara kemauan (idealitas) dengan kemampuan (kapasitas). Mau dan mampu harus menjadi research question apakah pemilu serentak seperti tahun 2019 kemarin akan tetap dilanjutkan atau harus diubah? Menurut hemat saya, beban kerja pemilu serentak 2019 harus dikurangi dengan cara memisahkan pemilihan umum nasional dan pemilihan umum lokal (daerah). Pemilu nasional memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, pemilu lokal terbagi lagi menjadi pemilu lokal tingkat provinsi yaitu memilih anggota DPRD Provinsi, dan Gubernur, dan pemilu lokal tingkat Kabupaten/Kota untuk memilih DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota. Dengan demikian diharapkan akan meringankan kerja penyelenggara, dan memudahkan pemilih dalam berpartisipasi dalam setiap pemilihan umum, serta membuat peserta pemilu fokus pada permasalahan di tingkatnya masing-masing. Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan, kini bola penentuan keserentakan pemilu ada di tangan pembuat undang-undang (DPR). Pertanyaannya, seriuskah para wakil rakyat kita dalam merivisi undang-undang pemilu agar pelaksanaan pemilu kita bisa lebih manusiawi dan bermartabat?   Fahmi Zikrillah adalah Anggota KPU Kota Jakarta Selatan

Populer

Belum ada data.